Rian
Hidayat Husni
![]() |
Rian Hidayat Husni |
Tumbuh-tumbuhan berjejer rapi
mengikuti arah eloknya lereng gunung. Jenis tumbuhan yang ditanam oleh petani
kelas bawah hingga para angkatan burung menjadikan keragaman dan kekayaan
begitu banyak dihasilkan. Mata air yang keluar dari sela-sela bebatuan dan akar
pohon memberi kesuburan. Masyarakat pun menunggu masa kejayaan panen dan
memetik hasil keringatnya. Di laut, pesona alam pantai pun tak mau kala.
Eksotik dan hadirnya hembusan angin
membawa dan melelapkan tidur. Juga terdengar kicauan burung yang berdemonstrasi
di langit-langit atas. Berbagai aktivitas laut sangat banyak untuk disaksikan.
Saat air laut mulai surut, terlihat para gadis-gadis remaja berdiri di atas
hamparan batu dan terumbuh karang. Mereka sedang sibuk mencari hasil biota
laut, mereka membawa segala peralatan dan mulai mencari. Hasil-hasil laut
berupa Duri Babi dan lainya dijadikan bahan penyedap mulut. Di laut yang begitu
luas, kaum nelayan berlomba-lomba mencari hasil tangkapan, ada yang masih
menggunakan alat tradisional dan ada juga yang menggunakan peralatan modern,
unik dan begitu indah disaksikan.
Dunia laut menjadi ajang mata
pencaharian yang memiliki banyak tenaga kerja. Seakan percikan surga kecil
keluar dan terhampar disini. Di jalanan, ibu-ibu berjalan rapi membawa berbagai
jenis makanan. Anehnya, makanan itu tidak jatuh saat di letakkan di atas kepala
tanpa bertumpuh pada bantuan tangan. Tapi dengan semangatnya mereka berjalan
tanpa merasakan beban. Makanan itu kemudian diantar di rumah duka atau kepada
rumah orang-orang yang sedang mengalami musibah, seperti musibah kematian dan
hajatan perkawinan.
Kebudayaan ini menjadi tradisi
orang-orang desa. Biasa mereka menyebutnya "Susah Re Kapalang" atau
saling membantu orang yang mengalami kesusahan. Desa yang kaya akan hasil alam
dan kebudayaan ini, juga tersimpan cerita dan legenda yang sering di dongengkan
orang-orang tua sebagai buah pengantar tidur. Sayangnya, cerita dan legenda
tersebut tidak pernah di tulis. "Wah...Sungguh indahnya alam di
desaku" Begitulah kata Herman saat berada di atas pohon cengke, sambil
menyaksikan pemandangan alam di desanya. Herman adalah pemuda desa yang
ber-usia belasan tahun. Selain menempuh pendidikan, ia juga sering membantu
orang tuanya beraktivitas di kebun.
Suatu pagi, ia berangkat ke
sekolah. Seperti biasanya, dengan modal jajan tiga ribu rupiah, cukup baginya
untuk menangkis datangnya lapar. Di sekolah ia bertemu teman-temannya. Setelah
mengikuti bel pagi, mereka pun masuk di dalam kelas dan duduk sambil menunggu
guru mata pelajaran yang akan masuk. Herman melirik ke belakang dan melihat
sala-satu bangku deretan belakang yang kosong. Ternyata itu adalah tempat
'Jemi'. Ia pun bertanya kepada Sindi, "sin, kok Jemi tidak masuk sekolah hari
ini?" Sindi menjawab "aku juga tidak tau Man". Ia kemudian
merasa kuatir dengan Jemi, teman karibnya yang sering tidak masuk sekolah.
Guru mata pelajaran kemudian masuk,
mereka pun belajar. Tak lama, bel tanda istirahat berbunyi. Ia langsung keluar
dari kelas dan menuju tempat istirahat. Kemudian ia duduk di bawah pohon dengan
udara yang sejuk dan melampiaskan rasa lelahnya saat belajar tadi. Rasa
kekuatiran kepada Jemi terus menghampiri benaknya, yang belakangan ini sering
bolos dan tidak masuk sekolah. Setelah lama beristirahat, ia kemudian berjalan
mengelilingi halaman sekolah dan melihat lingkungan sekolahnya yang ramai serta
terdapat banyak bunga. Kebetulan, di hari itu akan diadakan latihan 'tarian
lalayon' di aula sekolah, yang merupakan salah-satu kearifan lokal yang masih
terjaga dan sering di pentaskan di panggung. Ia tersenyum melihat pemandangan
tarian yang di peragakan oleh sepasang lelaki dan perempuan itu, dan diikuti
musik tradisional.
Mulai dari gerakan badan yang sama
hingga rentakan kaki yang se-irama, mencerminkan dunia kasih sayang antara
pihak lelaki dan perempuan. Namun begitu, kekuatiran tentang jemi masih saja
terlintas. Setelah pulang sekolah, ia berniat mampir ke rumah Jemi untuk
menanyakan keadaanya. Di tengah perjalanan pulang, ia melihat orang-orang
tampak berkumpul dengan mengenakan atribut serta melakukan pawai dan
arak-arakan di jalan. Dikarenakan tak lama lagi akan diadakan pemilihan kepala
daerah.
Orang-orang itu berdiri di sekitar podium dan mendengarkan pidato yang
disampaikan oleh kandidat atau calon pemimpin mereka. Tak lama kemudian, ia
melihat sosok jemi di tengah-tengah banyak orang dalam keadaan membuka kaosnya
sambil berteriak. Selain itu, ia juga melihat Jemi menggenggam botol minuman
keras di tangan kirinya. Jemi dalam keadaan mabuk. Ia segera bergegas
menghampiri Jemi dan berkata "Jemi, apa yang kamu lakukan disini?"
Dengan keadaan menghawatirkan Jemi yang sedang mabuk. Jemi menjawab dengan
suara marah "Hah... Ini bukan urusanmu" Herman pun berkata "lalu
bagaimana kalau orang tuamu tau keadaan kamu seperti ini?" Jemi membalas
"itu juga bukan urusanmu, sekarang sebaiknya kamu pergi dari sini, karena
kamu bukan bagian dari pendukung kami, atau tidak aku akan menyuruh orang-orang
disini untuk memukulmu.!" Herman pun bergegas pergi meninggalkan keadaan
temannya yang telah di pengaruhi badai politik dan kemaksiatan.
Sesampainya di
rumah, ia langsung mengganti pakaian dan berbaring di tempat tidur. Ia tak
habis pikir, tingkah-laku Jemi yang aneh dan brutal. Jemi yang dulunya ia kenal
sebagai anak yang baik, sekarang begitu berubah dihadapannya. Belum sempat
tertidur, Herman dikagetkan dengan keributan di luar. Ia bergegas membuka pintu
rumah dan ingin menyaksikan apa yang sedang terjadi di luar. Ternyata, ada
sekelompok keluarga yang bertengkar karena lantaran beda pilihan kepala daerah.
Ia pun kembali masuk dan memikirkan satu-persatu kejadian yang terjadi. Ia
merasa sesuatu yang langkah telah terjadi di desanya. Saat berjalan,
orang-orang menatapnya dengan wajah ganas, masyarakat tidak akur lagi.
Mereka saling menghina satu-sama
lain, serta pesta minuman keras dan demokrasi merajalela. Herman nampaknya
tidak menghawatirkan lagi keadaan Jemi, tetapi ada hal yang lebih besar ia
pikirkan, yakni tentang desa dan orang-orangnya. Kegelisaanya semakin kuat.
Kejadian demi kejadian terus terjadi. Gerbang kehancuran seakan terbuka
lebar-lebar. Desa yang dulunya damai sebagai anugerah dari tuhan, kini
diselimuti kain hitam yang membungkus habis seluruh sudut desa. Badai politik
telah menyapuh bersih sudut desa. Mungkin tinggal menunggu azab dari tuhan.
Sore harinya, Herman kemudian pergi
ke pantai. Ia menganggap pantai dan alam disekitarnya lebih memahami dirinya
dan tentunya, ia tidak ingin kejadian itu terus-terusan terjadi. Ia duduk menikmati
alam pantai. Ia mengingat kembali saat-saat dimana ia bersama Jemi. Menurutnya,
Jemi adalah teman yang sudah begitu lama ia kenal sejak di bangku SD, dan juga
ia sudah menganggap Jemi sebagai saudara. Terlintas ingatannya, saat ia dan
Jemi berada di kebun waktu itu. Karena kebun Herman dan Jemi bersebelahan, hari
itu mereka berdua beristirahat di bawah pohon yang rindang setelah membantu
orang tua mereka menanam bibit pala dan cengkeh. Angin bertiup pelan. Mereka
berbaring dan menatap ke langit. Kemudian Herman bertanya kepada Jemi
"jemi, apa impianmu?" Jemi menjawab "aku ingin suatu saat
orang-orang melihat aku berbicara di atas podium. kalu impian kamu apa
Man?" "Aku ingin menjadi burung itu! (Sambil menunjuk ke arah seekor
burung yang asyik terbang) karena aku bisa pergi ke-mana saja dan terus berada
di udarah" "Bagaimana kalau sayapmu patah?" Jemi kembali
bertanya. "Kalau sayapku patah, akan kugantikan dengan sayap yang
baru" ha...ha...ha...! Mereka berdua tertawa.
Tiba-tiba terdengar suara
Panggayung dari arah laut. Ternyata suara dayung itu adalah seorang Pak Tua
yang baru pulang memancing. Ia langsung menuju ke arah pak tua itu dan
membantunya mengangkat perahu ke tepi pantai. Setelah selesai, mereka berdua
duduk. Melihat wajah gelisa yang terus ditebarkan Herman, Pak tua kemudian
bertanya kepada Herman. "Sedang apa kamu disini nak?" "Aku
sedang memikirkan sesuatu" jawab Herman. "Bolehka kamu
menceritakannya padaku?" Tanya pak tua lagi. "Aku merasa ada yang
aneh di desa kita, orang-orang kini saling mencaci dan bermusuhan satu-sama
lain, kemaksiatan merajalelah, sebenarnya apa yang telah terjadi di desa
kita?" Mendengar penjelasan dari Herman, Pak Tua tersenyum dan berkata;
"jarang aku bertemu anak muda seperti kamu nak, sekarang, lihatlah lautan
itu! Dulunya bersih dan indah, sekarang telah kotor dan tercemar. Karena itu,
saya ingin berpesan, yang namanya penyakit itu pasti ada obatnya, yang kotor
pasti ada cara untuk membersihkannya. Baiklah, sekarang saya pamit dulu, istri
dan anak-anak saya telah menunggu di rumah" Mendengar nasehat dari Pak tua
tadi, Ia seperti mandapatkan kekuatan.
Sikap optimis dan memegang teguh
idealismenya tak mungkin dikubur begitu saja. Ia tak mau kejadian yang akan
membawah mala-petaka itu manyapuh habis sudut desa. Pemuda dengan semangat yang
menyalah, yakin mampuh mengatasi semua masalah yang terjadi di desa. Herman
membuktikan hal itu saat ke-esokan harinya ia berangkat lagi ke sekolah. Pagi
itu suasana desa mulai tenang, tapi masih terlihat posko-posko kemenangan masih
di huni masyarakat. Saat tiba di sekolah, ia melihat Jemi sedang duduk di dalam
kelas. Jemi terlihat gelisa tengah memikirkan sesuatu yang tak bisa
diterjemahkan oleh Herman. Setelah aktivitas sekolah berakhir, mereka kemudian
berbaris rapi mengikuti bel pulang. Setelah mendengar arahan dari Pak guru,
Herman meminta izin untuk diberi kesempatan bicara. “Pak, izinkan saya
berbicara di depan! Ada yang ingin saya sampaikan kepada teman-teman” “baiklah,
silahkan!” Pak guru memberi kesempatan. “Teman-temanku sekalian, sekarang di
desa kita telah terjadi berbagai masalah.
Keluarga dan sahabat kita yang
dulunya saling menyayangi, kini semua telah saling mencela satu-sama lain.
Orang tua tak damai lagi, saat orang mengalami musibah, tak ada lagi bantuan
susah re kapalang. Apa yang sebenarnya terjadi? Dimana desa kita yang beradab
dan beradat? Mengapa secuil perbedaan mengasingkan kebersamaan kita selama ini?
Saya yakin, jawabannya ada pada diri teman-teman” Keadaan sedih dan mengharukan
menyelimuti bel siang mereka. Tiba-tiba Jemi berjalan menuju Herman, luapan
sedih terlihat diwajahnya beriring langkah pelannya. “Aku minta maaf Man,
sekarang aku benar-benar menyesali perbuatan salahku, ternyata keburukan itu
tidak bertahan lama” Akhirnya mereka pulang dalam keadaan semula, gembira-ria
dan saling menyayangi. Herman pun tiba di rumah dan beristirahat dengan tenang
tanpa ada keributan lagi
Penulis
Adalah Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Khairun Ternate
Dan Penulis Lepas Manus.com.
Dan Penulis Lepas Manus.com.